60 Menit Bersama ANANDA SUKARLAN

Ananda Sukarlan
Pianis Indonesia dengan reputasi Internasional, Ananda Sukarlan hari Jumat (15/01/10) menyempatkan diri mampir di studio Radio SPFM Makassar. Ananda yang datang bersama beberapa rekan dari Maestoso Music ini memang sedang berada di Makassar dalam rangka konsernya yang digelar di Krakatau Room, Hotel Horison.
Selama kurang lebih 60 menit (12.00 – 13.00 wita), pianis yang kini bermukim di Spanyol ini bercerita tentang perjalanan karirnya, dari saat ia masih kecil hingga sampai seperti sekarang ini. Dengan latar belakangnya sebagai anak seorang tentara, tentu sulit membayangkan bahwa nantinya Ananda akan menjadi musisi kelas dunia seperti sekarang ini. Waktu kecil, pianis yang lahir di Jakarta, 10 Juni 1968 ini mengaku tak menyukai musik. Tapi di rumahnya ada sebuah piano yang biasa ia jadikan mainan di saat senggang dengan memencet tuts asal jadi. Namanya juga anak-anak. Waktu itu ia belum kenal nada. Namun entah karena sering bergaul dengan piano itu atau memang ada bakat alam yang terpendam dalam dirinya, lama kelamaan ia tertarik dengan piano dan bertekad untuk menggali keingintahuannya pada alat musik yang satu ini. Ananda sendiri tidak bisa menjelaskan alasannya. ”Gak tahu ya….rasanya kayak jatuh cinta pada seseorang, tak bisa dijelaskan, pokoknya jatuh cinta aja…”
Untungnya Martani Widjayanti, kakaknya yang telah lebih dulu belajar musik, memberi kontribusi besar terhadap kecintaannya pada piano. Pada Martanilah ia pertama belajar piano lalu berguru pada Soetarno Soetikno dan Ruby Laban. Ia kemudian mendapat beasiswa untuk belajar piano di Amerika Serikat. Sempat pulang ke Indonesia, Ananda kemudian mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah di Fakultas Piano di Den Haag dan lulus S2 dengan predikat Summa Cum Laude.
Ananda bercerita bahwa kesuksesannya kini memang berawal bukan dari sebuah rencana besarnya, tapi buah dari banyak kesulitan yang dialaminya. Saat kuliah di Belanda, waktu itu terjadi krisis hubungan Indonesia dan Belanda. Dampaknya adalah pemutusan beasiswa untuk mahasiswa yang sedang belajar di Belanda. Tak terkecuali Ananda. Padahal tinggal selangkah lagi ia akan menyelesaikan gelar S2-nya. Sementara tabungan di rekeningnya waktu itu tinggal 30 Gulden. Pria low profile yang menikah dengan wanita Spanyol ini akhirnya harus berpikir keras bagaimana caranya agar ia bisa hidup dan menyelesaikan kuliahnya.
Suatu saat ia pun bertemu dengan Bapak Fuad Hasan yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Lewat Fuad Hasan inilah ia dapat petunjuk tentang perolehan beasiswa bagi pelajar Indonesia dan kesempatan untuk mengikuti kompetisi bergengsi yang memang selalu ada. Dalam kompetisi ini biasanya hadir para pencari bakat baru, produser, dan para musisi terkenal dunia. Karenanya tampil dalam kompetisi semacam ini adalah modal besar untuk menjadi musisi besar. Ananda beberapa kali telah memenangkan kontes. Maka kesempatan besar untuk eksis di jalur musik pun digenggamnya.
Saat ini Andy, begitu ia disapa, sering diundang atau terlibat dalam konser simfoni orkestra di Eropa atau bermain tunggal. Ia menyebut dirinya bermain dengan genre “musik sastra”, bukan musik klasik. Dalam setahun ia dapat mengadakan pertunjukan 60 - 80 kali (5 - 7 kali sebulan).
Berbincang dengan Ananda membuat satu jam terasa begitu sekejap. Apalagi dengan kelembutan tutur katanya. Kisahnya hidupnya yang sederhana tapi inspiratif, membuat kita terpana. Tak disangka, satu-satunya orang Indonesia yang namanya tertulis dalam buku “The 2000 Outstanding Musicians of the 20th Century“, yang berisikan riwayat hidup 2000 orang yang dianggap berdedikasi pada dunia musik ini, ternyata begitu bersahaja.
Di ujung perbincangan kami, Ananda juga menyampaikan harapan-harapan dan keinginannya untuk berbagi ilmu pada semua orang yang ingin menikmati musik. Agar tak terlalu terkesan sebagai musik yang berat ia pun banyak menggubah puisi atau musik etnik, mengawinkannya dengan dentingan tuts piano menjadi suguhan yang menyenangkan. Ia ingin semua orang bisa menikmati musik termasuk musik klasik yang konon digolongkan sebagai musik berat untuk golongan masyarakat tertentu. Bagi Ananda, musik itu universal, tidak ada pembedaan atau penggolongan untuk menikmatinya. Ia ingin semua orang terutama anak-anak mencintai musik, terutama piano. Makanya kini ia telah merealisasikan mimpinya itu dengan mendirikan Foundatio di Indonesia juga di Spanyol, yang dikhususkan untuk anak-anak tak mampu tapi punya keinginan untuk belajar piano. Juga untuk anak-anak cacat agar dengan keterbatasan mereka, mereka tetap bisa bermain musik.
Kami menutup percakapan dengan mengamini harapan-harapannya itu. Dengan sederet doa semoga anak Indonesia yang telah mengharumkan nama Indonesia di setiap pertunjukannya ini, makin sukses dan tetap low profile dengan segala kelebihan yang dimilikinya. Bravo, Andy!
This entry was posted on Tuesday, January 19th, 2010 at 10:46 and is filed under Artikel. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

February 28th, 2010 at 17:36
ASSALAMAUALAIKUM. SUKSES BUAT SPFM.
February 28th, 2010 at 17:37
Mantap..
February 28th, 2010 at 17:38
MAMPIR SORE.