Anak-anak Menuju Generasi Pembelanja

Oleh: Rusdin Tompo (Ketua KPID Sulawesi Selatan & Aktivis Hak Anak)

Kemampuan anak meminta, atau lebih tepatnya merajuk, membuat orangtua luluh untuk segera menyetujui permintaan anaknya tersebut. Jika tidak, anak-anak akan mencoba memanipulasi orangtua sampai orangtua membelikan apa yang menjadi tuntutan keinginannya.

Anak-anak kita dipersatukan oleh apa yang mereka konsumsi. Mereka telah menjadi sasaran aneka promosi berbagai produk. Bahkan, saat masih dalam kandungan. Begitu lahir, ia langsung dibujuk oleh rayuan iklan susu formula yang menawarkan keunggulan dibanding air susu ibu (ASI).

Ketika ulang tahunnya yang pertama, orangtua lebih memilih merayakannya di restoran fast food daripada membuatkan nasi kuning dari dapur sendiri. Tak cukup sampai di situ, anak-anak itu kemudian didaftarkan sebagai anggota jaringan bisnis waralaba internasional tersebut. Sejak itu, mereka telah diperkenalkan sekaligus menjadi bagian dari kapitalisme global.

Demi memanjakan si kecil, ia secara reguler diajak ke mal dan pusat-pusat hiburan. Ia diakrabkan dengan budaya mal, seolah menjadi takdirnya sebagai anak yang hidup di zaman kini. Di pusat-pusat perbelanjaan, ia bisa menemukan barang-barang kebutuhannya, yang disaksikannya di layar kaca.
Ia bisa membeli sepatu dan tas sekolah seperti dikenakan artis cilik yang menjadi model iklan di stasiun TV kesayangannya. Atau membeli mainan kegemarannya untuk menambah koleksinya. Maka, sebelum beranjak remaja, anak-anak sudah dilekatkan dengan rupa-rupa produk, menjadi sadar merek, dan potensial menjadi generasi pembelanja.

Anak-anak bahkan tidak terbatas hanya menjadi sasaran promosi dari produk-produk yang mereka konsumsi secara langsung. Mengapa? Karena anak-anak bisa menjadi penentu keputusan membelanjakan uang dalam sebuah keluarga meski mereka tidak mempunyai penghasilan. Penelitian YLKI, bulan April 2002 (Kompas, 11/8/2002), mengungkapkan bahwa anak-anak merupakan penentu kedua (58,16 persen) pada keputusan belanja keluarga.

Kemampuan anak meminta, atau lebih tepatnya merajuk, membuat orangtua luluh untuk segera menyetujui permintaan anaknya tersebut. Jika tidak, anak-anak akan mencoba memanipulasi orangtua sampai orangtua membelikan apa yang menjadi tuntutan keinginannya. Jika keinginan anak tidak dikabulkan maka si anak akan memberi reaksi kecewa (56,1 persen), marah (36,4 persen), dan kesal terhadap kondisi keuangan keluarga (21,8 persen). Penelitian itu juga menunjukkan bahwa dari 240 responden, kebanyakan mengaku lebih mengingat iklan fast food, disusul mie instan, biskuit, produk cokelat, lalu minuman ringan (Mahayoni dan Hendrik Lim, 2008).

Korporasi Paedophilia

Apa yang dikonsumsi anak─dan selera mereka yang terbentuk kemudian─sangat dipengaruhi oleh media massa. Media menjadi alat pemasaran yang efektif dalam memperkenalkan produk secara massif. Apalagi jika terus-menerus dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Paparan media menjadikan anak kita merasa butuh pada produk yang diiklankan. Seolah, bila ia tidak menjadi bagian dari konsumen suatu produk, ia teralienasi dari kehidupan ini.

Demikianlah strategi produsen menanamkan loyalitas pada konsumen anak sebagai pelanggan masa depannya. Studi yang dilakukan Daniel Anderson (Neil Postman, 2009) menemukan, anak-anak mulai umur tiga puluh enam bulan, pada waktu acara-acara favorit mereka, bisa menyanyikan lagu-lagu iklan, dan meminta barang yang mereka lihat dalam iklan. Sejauh yang menyangkut bentuk simbolis, anak-anak mampu memahami iklan McDonald’s semudah ia mengingat iklan Xerox. Sehingga, tak perlu kaget jika balita kita sangat mengenali iklan televisi yang disaksikannya, mungkin sebaik ia mengenali ayah-ibu dan kakek-neneknya.

Alissa Quart (2008) mengisahkan, pemasaran terhadap anak-anak yang dimulai tahun 1980 dipicu oleh dua peristiwa. Pertama, peluncuran dan kesuksesan film Jaws (1975) dan Star Wars (1977). Produser film yang membidik pasar anak-anak tanpa diduga tak hanya berhasil menjual tiket bioskop dalam jumlah sangat besar, tapi juga produk merchandise yang terkait dengan film itu, mulai dari boneka tokoh utamanya hingga perangkat tidur. Kedua, ketika The Federal Trade Commision, pada tahun 1978, berusaha mencabut pembatasan iklan yang ditujukan kepada anak-anak.

Kongres AS menyetujuinya dengan menyatakan bahwa pelarangan iklan untuk anak-anak sungguh tidak beralasan. Menurut Peter Zollo, gagasan yang menjadikan anak-anak sebagai target berharga merupakan gagasan baru, yang semula tidak diyakini oleh pengiklan. Kini, para pemasar terus-menerus menjelajahi pikiran anak-anak untuk menyedot keuntungan dari kelompok “skippies” ini, yakni sebutan bagi anak sekolah yang memiliki daya beli.

Belakangan muncul kritik terhadap para produsen yang menjadikan anak-anak dan remaja sebagai sasaran pemasaran. Di Australia, seorang kolumnis surat kabar berpendapat bahwa perusahaan yang menjual produk untuk anak-anak tidak lebih sebagai “korporasi paedophilia”. Istilah ini meminjam selera seks tak senonoh orang dewasa yang cenderung lebih tertarik pada bocah ingusan. Sebuah sindiran sekaligus sinisme terhadap produsen yang mengeksploitasi anak-anak sebagai sasaran bisnisnya.

Konsumerisme Parasitik

Apa yang terjadi pada anak-anak, terutama yang beranjak remaja, di belahan dunia sana, ternyata tak jauh beda dengan kita. Gelombang gaya hidup global (global lifestyle) juga menjangkiti kehidupan ABG kita sejak dekade 1990-an. Di Indonesia, di kalangan remaja menengah atas kota, muncul generasi MTV yang dicitrakan sebagai kaum belia yang lincah, cool, banyak teman (gaul), suka belanja, dan go international (fasih berbahasa Inggris). Sebuah survei di tahun 2000 menyimpulkan remaja Indonesia “makin konsumtif”, doyan gonta-ganti merek, gampang termakan tren, dan gemar tampil keren (Nina M. Armando, Jurnal Perempuan, No. 37.2004).

Yang mengkhawatirkan jika para ABG itu hanya mengadopsi gaya konsumsi masyarakat negara maju sehingga mereka hanya menjadi pasar empuk bagi berbagai produk dari negara-negara industri kapitalis tersebut. Bila kondisi ini terjadi maka ABG kita berada pada apa yang disebut oleh Alan Wells sebagai “konsumerisme parasitik”. Istilah ini dibuat Wells setelah melakukan studi di Amerika Latin, pada tahun 1970-an.

Wells menyimpulkan bahwa proses pembaratan yang terjadi di wilayah itu justru menghambat pembangunan. Fenomena yang sama juga ia saksikan di negara-negara berkembang, yang tingkat konsumsinya meningkat tanpa diimbangi dengan semangat inovasi, berkarya dan berproduksi. Kondisi “konsumerisme parasitik” ini juga ikut didorong melalui pesan-pesan dan nilai-nilai yang dibawa oleh media.

Demi mengantisipasi anak-anak kita menjadi generasi pembelanja, berbagai regulasi di Indonesia membatasi pelibatan anak-anak dalam iklan, juga melarang anak-anak dijadikan sebagai sasaran produk tertentu. Baca saja UU Penyiaran, UU Perlindungan Konsumen atau Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang menempatkan anak-anak sebagai khalayak khusus yang wajib dilindungi dan diberdayakan.

Kita tentu tak ingin anak-anak menjadi korban iklan yang mengada-ada, apalagi iklan menyesatkan. Iklan-iklan yang menstimulasi syahwat konsumtivisme yang mendorong mereka berbelanja bukan berdasarkan kebutuhannya tapi semata didasarkan pada apa yang diinginkan.***

(sumber asli: tribun-timur.com)

Share Button