Komisi Nasional Perlindungan Anak pada awal 2012 ini sudah mendapati enam kasus anak berhadapan dengan hukum. Di Sijunjung, Sumatera Barat, kakak beradik FZ 14 dan MZ 17 tewas di tahanan kantor polisi. Di Bali, Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Bali, memvonis DW (15) bersalah, dalam kasus penjambretan tas berisi uang Rp 1000. Kasus serupa dialami AAL (16) yang divonis bersalah dalam kasus pencurian sandal oleh PN Palu, Sulawesi Tengah.
Selain itu, di Sangir Talaud, Sulawesi Utara, anak 7 tahun harus setiap Senin dan Kamis melapor ke polisi, sebab berkelahi dan melukai bocah 8 tahun anak dari seorang hakim. Sedangkan di Nusa Tenggara Timur, VN (16) dituntut dua bulan penjara dalam sidang di PN Soe, dengan tuduhan mencuri bunga adenium rumah orang tua angkatnya. (sumber :suaramerdeka.com)
_________________________________
Banyaknya kasus hukum yang menimpa anak di bawah umur memang sangat memprihatinkan akhir-akhir ini termasuk diMakassar (kasus di Gowa anak mencuri baut , tuduhan pencurian sepeda motor pada anak perempuan penjual kue, sekelompok anak dilaporkan karena bermain di depan rumah orang kaya dan menimbulkan ketidaknyaman). Seharusnya hal ini bisa dihindari jika penyidik sebagai pihak pertama yang menangani laporan warga mengedapankan restorasi keadilan. Misalnya saja kasus-kasus yang melibatkan anak ini seharusnya diselesaikan secara kekeluargaan bukan melanjutkan dengan melalui proses hukum. Demikian disampaikan Direktur LBH APIK Makassar, Lusia Palulungan,SH di acara Derap Perempuan, Jumat, 17 Pebruari 2012.
Kalau ada anak berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban bahkan sebagai pelaku diistilahkan sebagai anak berhadapan dengan hukum. Kalau posisinya dia sebagai korban (pelapor) prosedur hukumnya sudah jelas bahwa yang harus melaporkan adalah orangtua atau wali sebab anak bukan subjek hukum, mereka hanya punya hak tidak punya kewajiban. Aturan ini hanya berlaku untuk anak, istilah anak yang dimaksud disini adalah anak usia di bawah 18 tahun termasuk yang masih dalam kandungan.
Anak yang terpaksa harus berhadapan dengan hukum wajib mendapatkan pendampingan. Ada kebijakan yang sebenarnya mewajibkan kepada aparat penegak hukum untuk tidak memproses dimana anak sebagai pelaku ke jenjang yang lebih tinggi. Kalau ada yang melaporkan ke polisi diwajibkan pihak kepolisian melakukan musyawarah untuk perdamaian di tingkat kepolisian. Anak sebagai pelaku sebenarnya juga dia adalah korban. Misalnya anak yang mencuri satu baut, kemungkinan karena dia miskin, sehingga anak harus mencuri. Akhirnya anak itu harus ditahan padahal sebenarnya Negara punya kewajiban untuk memenuhi hak-hak warga negaranya.
Selanjutnya Lusia mengatakan, kecuali Undang-Undang perlindungan anak, sekarang ada SKB (surat kesepakatan bersama) antara Kepolosian, Kejaksanaan dan Mahkamah Agung, untuk anak yang berhadapan dengan hukum. Jika ada anak sebagai pelaku hukumannya bukan harus dipenjara tapi harus dibina di Panti khusus yang sudah disiapkan oleh Dinas Sosial. Di SulSel sudah ada panti yang bernama “Salodong” tepatnya di daerah Tol. Panti ini untuk membina dengan pemberian keterampilan. Sehingga jika masa pembinaannya sudah selesai, anak tersebut sudah menjadi anak terampil dan tidak berstatus sebagai mantan narapidana yang akan punya pengaruh psikologis sampai ke masa depannya.