Mendapatkan perlindungan di dalam undang-undang terkait masalah perkawinan menjadi hak bagi semua kaum perempuan. Terlebih lagi dari berbagai kasus, perempuan menjadi objek dari ketidakadilan. Sebagai sebuah negara yang menjunjung tinggi asas hukum, sangatlah penting untuk meninjau kembali beberapa regulasi yang dianggap merugikan kaum perempuan. Namun sampai saat ini, Undang-Undang Perkawinan belum juga direvisi.
Demikian pernyataan Lusia Palulungan, SH, Direktur LBH-APIK Makassar, ketika menjadi nara sumber di acara Derap Perempuan Radio SPFM Makassar. Jumat (5/08/11).
“Undang-undang yang direvisi terkait masalah perempuan masih belum terselesaikan. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh sebuah perpektif terhadap kaum perempuan itu sendiri,” kata Lusia.
Anggota DPR RI yang memiliki wewenang tersebut dinilainya belum paham secara utuh terhadap masalah perempuan, Di setiap kasus perkawinan tentu yang paling dirugikan adalah kaum perempuan.
“Perempuan dan sebuah pernikahan adalah suatu persoalan yang kompleks. Hal ini disebabkan karena pemahaman tersebut sangat dipengaruhi oleh budaya dan agama,” urainya.
Dalam Undang-Undang Perkawinan semua pernikahan harus tercatatkan dalam lembaga Negara. Jika tidak tercatat inilah yang disebut dengan nikah siri.
“Saat ini sering terjadi pernikahan siri dan umumnya adalah oleh mereka yang dari keluarga tidak mampu. Lagi-lagi ini persoalan ekonomi. Untuk mengakses buku nikah saja harganya mencapai sekitar Rp. 400 ribu, Nilai ini terbilang besar untuk masyarakat miskin,” tandas Lusia.
LBH-APIK Makassar saat ini mengusulkan agar undang-undang yang menyangkut masalah perkawinan direvisi. Selain itu, terkait kelengkapan administrasi perkawinan sebaiknya tidak dipungut bayaran.