Pemerintah RI Belum Sepenuhnya Melindungi Buruh Migran

Kekerasan dan alienasi Buruh Migran Perempuan (BMP), masih terus terjadi. Meski jaminan perlindungan terhadap buruh migran telah disepakati internasional  lewat Konvensi ILO 1990. Namun pemerintah Indonesia sampai saat ini belum juga menanggapi secara serius perlindungan buruh migran perempuan tersebut. Hingga kini belum ada aturan atau kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menjamin keselamatan mereka.

Hal ini mengemuka dalam talk show bertajuk “Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran Dan Keluarganya” di Radio SPFM Makassar, Rabu (26/10/11). Hadir sebagai pembicara adalah Azizah dari Komunitas Dampingan Solidaritas Perempuan Anging Mamiri (SP-AM) – Buruh Migran Perempuan (BMP) tujuan Malaysia, Ketua Badan Eksekutif SP-AM Makassar, Rosmiati Sain dan Nur Aini Gee dari Dev. Migrasi, Trafficking & AIDS (MTA).

“Secara payung hukum belum ada perlindungan buruh migran atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) oleh pemerintah  kita saat ini. Karena itu banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap buruh migran,” urai Rosmiati.

Dia juga menambahkan dari beberapa kasus yang pernah di tangani SP-AM, pelanggaran yang sering dialami oleh buruh migran itu antara lain persoalan gaji, tidak diperbolehkan keluar rumah bersama keluarganya dan lain sebagainya.

Konvensi PBB melalui nota kesepakatan yang dibuat terkait perlindungan terhadap buruh migran atau yang biasa disebut Konvensi ILO 1990 sudah ditandatangani Pemerintah RI sejak tahun 2004.

“Namun belum ada tanda-tanda penyusunan aturan yang melindung hak buruh migran kita. Sampai saat ini kami terus berusaha mendesak pemerintah untuk meratifikasinya melalui sebuah regulasi. Apakah itu melalui Undang-Undang atau Keputusan Presiden (Kepres) agar bisa dipergunakan sebagai acuan dasar perlindungan terhadap buruh migran dan jaminan untuk keluargannya,” ujar Azizah.

Ada tiga hal penting yang mendasari mengapa Konvensi ILO 1990 itu harus diratifikasi, antara lain :

  1. Secara Substansi, buruh tidak bisa dipandang sebagai objek dalam produksi tapi ia mesti dipandang sebagai manusia yang memiliki keluarga dan juga berada dalam lingkungan sosial.
  2. Karena statusnya sebagai buruh migran maka perhatian internasional juga sangat perlu untuk melindungi mereka.
  3. Aspek Hak Asasi Manusia (HAM).

Pentingnya ratifikasi tersebut selain mencegah perlakuan yang kurang baik terhadap buruh migran indonesia, juga dapat menghindarkan buruh migran perempuan dari eksploitasi. Peraturan itu sangat dibutuhkan juga untuk menghalangi praktek trafficking  yang korbannya kebanyakan perempuan.

Share Button